FOTOCOPY AZZA

Kumpulan Makalah

Ads Here

Selasa, 31 Maret 2020

Makalah | Prinsip Konsumsi Dalam Islam


MAKALAH
ILMU EKONOMI MIKRO SYARIAH
Prinsip Konsumsi Dalam Islam

Dosen Pengampu :








Di Susun Oleh :





Prodi : Ekonomi Syariah




SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAMBA’UL ULUM
KOTA JAMBI
2019



KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dengan ini penulis mengangkat judul “Prinsip Konsumsi dalam Ekonomi Islam”. Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Jambi,      November 2019



Penulis


i
 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................       i
DAFTAR ISI......................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah.........................................................................      1
B.   Rumusan Makalah..................................................................................      1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Konsumsi  ............................................................................      2
B.     Konsumsi dalam Ekonomi Syariah  .......................................................      2
C.     Maslahah Sebagai Tolak Ukur Konsumsi Dalam Ekonomi Syariah  .....      4
D.    Prinsip Konsumsi menurut Islam  ..........................................................      6
E.     Prilaku Konsumen dalam ekonomi islam  ..............................................      9
BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................................    12
DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan ekonomi Islam dalam tataran praktis maupun akademis sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari data statistik perbankan syari’ah yang dikeluarkan tiap bulannya oleh bank Indonesia, juga penelitian di bidang perbankan syari’ah, mulai dari soal faktor-faktor yang memengaruhi minat masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syari’ah, bidang investasi syari’ah, hingga soal model pemberdayaan dana zakat di Indonesia.
Inti asas ekonomi Islam adalah hak milik. Hak milik itu terdiri dari hak milik pribadi, hak milik umum, dan milik Negara. Dalam realitas, banyak praktik ekonomi (mikro maupun makro) mengalami kegagalan disebabkan kekeliruan pemahaman mengenai hak milik, seperti mendapatkan harta korupsi atau suap untuk membangun fasilitas umum dianggap benar, kebijakan sumber daya air, kebijakan sumber daya alam dan energi, kebijakan pengentasan kemiskinan, kebijakan privatisasi BUMN Milik Umum, kenaikan harga BBM dan berbagai penyimpangan lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian konsumsi ?
2.      Bagaimana konsumsi dalam ekonomi syariah ?
3.      Bagaimana maslahah sebagai tolak ukur dalam ekonomi syariah ?
4.      Apa saja prinsip-prinsip ekonomi dalam  ekonomi syariah ?
5.      Bagaimana perilaku konsumen dalam ekonomi islam ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konsumsi
Konsumsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu to consume yang berarti memakai atau menghabiskan, dan dari bahasa Belanda, consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.[1]
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Konsumsi adalah Pemakaian sumber daya yang ada untuk mendapatkan kepuasan atau utility. Dan konsumen adalah orang yang melakukan kegiatan konsumsi.

B.     Konsumsi dalam Ekonomi Syariah
Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan materi yang luar biasa sekarang ini, untuk mengurangi energy manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan batiniah yang bukan perluasan lahiriah telah dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi semangat modern dunia barat sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin, namun rupanya mengalihkan tekanan kea rah perbaikan kondisi-kondisi kehidupan material. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar, antara lain;[2]
1.       Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari reaeki secara halal dan tidak dilarang hokum. Dalam soal makanan dan minuman, yang dilarang adalah darah,daging binatang yang telah mati sendiri,daging babi dan daging binatang yang ketika disembelih tidak disebutkan nama selain Allah, seperti yang tertulis dalam al-Qur’an surat Albaqarah ayat 173. Tiga golongan pertama yang dilarang karena hewan-hewan itu berbahaya bagi tubuh, sebab yang berbahaya bagi tubuh juga berbahaya bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahyakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan Allah. Kelonggaran diberikan kepada orang-orang yang terpaksa dan bagi orang-orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhan saat itu juga.
2.      Prinsip Kebersihan
Syarat yang ke dua ini tercantum dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah tentang makanan. Makanan yang akan dikonsumsi haruslah baik dan cocok untuk dimakan, yang berarti tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.
Prinsip ini memiliki manfaat bagi kesehatan, karena bila semua orang menerapkan prinsip ini denga baik maka akan kecil kemungkinan tubuhnya terkena penyakit. Dengan makan makanan yang bersih badan akan menjadi sehat dan tentunya akan tumbuh jiwa yang kuat. Dengan tubuh dan jiwa yang kuat tentunya orang muslim tidak akan terhalang dalam melakukan ibadah sehari-hari. Selain itu kebersihan juga merupakan sebagian dari iman.
3.      Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia dalam melakukan konsumsi. Dalam prinsip ini diajarkan bahwa tidak baik bila seseorang itu berlebihan. Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 87, yang artinya; “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas”. Arti penting dalam ayat ini adalah kurang maka adalah dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian juga bila perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya bagi perut. Maka hendaklah orang-orang muslim hidup sederhana saja. Baik itu dalam makanan ataupun dalam belanja sehari-hari. Karena dengan hidup sederhana tidak akan menjadikan seseorang bersikap sombong terhadap yang lain. Hendaklah kebutuhan hidup dipenuhi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, yang berarti tidak membelanjakan harta untuk barang-barang yang tidak perlu.
4.       Prinsip Kemurahan Hati
Dengan menaati  perintah Islam yang tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hatinya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan dan kesehatan yang lebih baik, dengan tujuan untuk menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya. Kemurahan hati Allah tercermin dari Qs.Almaidah ayat 93, yang artinya; “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya lah kamu akan dikumpulkan.  Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa, hendaknya seseorang senantiasa bersyukur atas kemmurahan hati Allah. Karena dengan kemurahannya kita dapat makan dan minum makanan yang lezat, dimana itu merupakan kebutuhan pokok dalam hidup. Dan dengan prinsip ini tidak akan menjadikan manusia lupa bahwa semua kenikmatan yang didapat adalah berasal dari Allah karena kemurahan hati-Nya.
5.      Prinsip Moralitas
Prinsip ini menekankan pada tujuan akhir dalam konsumsi, yaitu bukan hanya sekedar terpenuhinya kebutuhan tubuh, melainkan untuk peningkatan nilai-nilai moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan, dan berterimakasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan measakan kehadiran Tuhan pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal ini sangat penting karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang seimbang.

C.    Maslahah Sebagai Tolak Ukur Konsumsi Dalam Ekonomi Syariah
Dalam islam tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan kemaslahatan. Pencapaian maslahah tersebut merupakan tujuan dari Maqosid Al-syariah. Konsep utilitas sangat subjektif karna bertolak belakang kepada pemenuhan kepuasan, dan konsep maslahah relatif lebih objektif karna bertolak dengan pemenuhan kebutuhan. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan  mempunyai tujuan untuk memperoleh kepuasan dalam konsumsinya. Utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang di rasakan oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang.[3]
Dalam menjelaskan konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumen cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maximum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas islami bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Falah adalah kehidupan yang mulia dan sejahtera didunia dan akhirat.
Falah dapat terwujud apabila bahwa kebutuhan-kebutuhan hidup manusia terpenuhi secara seimbang. Tercukupnya kebutuhan masyarakat akan memberikan dampak yang disebut maslahah. Pengertian maslahah itu sendiri adalah segala bentuk keadaan baik material maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Dalam konsumsi, seorang konsumsi akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen akan merasakan manfaat apabila kebutuhannya terpenuhi. Berkah akan diperoleh ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa yang dihalalkan oleh syariat.
Maslahah yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi  barang dapat berbentuk salah satu diantara hal-hal berikut:
1.        Manfaat material
2.        Manfaat fisik dan psikis
3.        Manfaat intelektual
4.        Manfaat lingkungan
5.        Manfaat jangka panjang
Disamping itu, kegiatan konsumsi akan membawa berkah untuk konsumen jika:
1.        Barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram
2.        Barang yang dikonsumsi tidak secara berlebihan
3.        Barang yang dikonsumsi didasari oleh niat untuk mendapatkan ridho Allah SWT
Ada lima elemen dasar maslahah, kehidupan atau jiwa (an-nafs), properti atau harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang jasa yang mendukung  tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Ada perbedaan maslahah dan utilitas seperti yang diungkapkan oleh jiki subagyo, antara lain:
1.        Maslahah individual akan relatif konsisten dengan maslahah sosial, sebaliknya utilitas individu mungkin saja berseberangan dengan utilitas sosial.
Jika maslahah dijadikan tujuan bagi pelaku ekonomi (produsen, distributor dan konsumen) maka arah pembangunan ke titik yang sama. Maka hal ini akan meningkatkan efektifitas tujuan utama pembangunan, yaitu kesejahteraan hidup. Konsep ini berbeda dengan utilitas dimana konsumen berusaha memenuhi kebutuhannya, adapun produsen dan distributor memenuhi kelangsungan dan keuntungan maksimal.
2.        Maslahah merupakan konsep pemikiran yang terukur (accountability) dan dapat diperbandingkan (comparable) sehingga mudah dibuatkan prioritas dan pentahapan pemenuhannya. Sebaliknya akan tidak mudah mengukur utilitas dan membandingkan antara satu orang dengan orang lainnya meskipun dalam mengkonsumsi barang ekonomi yang sama dalam kualitas dan kuantitas.
Adapun tujuan konsumsi disebutkan oleh monzer khaf dalam nur rianto dan eus amalia sebagai berikut:
1.         Konsumsi untuk diri sendiri dan keluarga
2.         Konsumsi untuk tabungan
3.         Konsumsi bagai tanggung jawab sosial

D.    Prinsip Konsumsi menurut Islam
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur`an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argument yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[4]
Bila dikatakan kepada mereka, “ belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu,” orang-orang kafir itu berkata, “ apakah kami harus member makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.” ( QS 36 : 47 )
Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.[5]
Dalam ekonomi islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai berikut :
1.      Prinsip Keadilan.
Syarat ini mengandung arti ganda bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan tidak dilarang hukum. Misalnya dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama Allah, ( Q.S Al- Baqarah 2 : 173 ). Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh sebab yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahayakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan tuhan. Kelonggaran diberikan bagi orang-orang yang terpaksa, dan bagi orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2.      Prinsip Kebersihan.
Obyek konsumsi haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak kotor, tidak najis, tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok untuk dikonsumsi manusia.
3.      Prinsip Kesederhanaan.
Konsumsi haruslah dilakukan secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam Islam justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil dan proporsional. Intinya, dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar dan proporsional, agar keadilan dan kesetaran untuk semua bisa tercipta.
4.      Prinsip kemurahan hati.
Makanan, minuman, dan segala sesuatu halal yang telah disediakan Tuhan merupakan bukti kemurahanNya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik demi menunaikan perintah Tuhan. Karenanya sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
5.      Prinsip moralitas.
Kegiatan konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan nama Allah sebelum makan, dan menyatakan terimakasih setelah makan adalah agar dapat merasakan kehadiran ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.[6]

E.     Prilaku Konsumen dalam ekonomi islam
Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasanya. Konsumen mencapai keseimbanganya ketika dia memaksimalkan pemanfaatanya sesuai dengan keterbatasan penghasilan, yakni: ketika rasio-rasio pemanfaatan-pemanfaatan marginal dari berbagai komoditas sama dengan rasio-rasio harga-harga uangnya masing-masing.[7]
Dalam paradigma ekonomi konvensional perilaku konsumen didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme dan rasionalitas semata. Prinsip ini menuntut adanya perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan.Prinsip ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai dan terjadilah kerusakan dimuka bumi.[8]
Berbeda dengan Islam yang mengingatkan bahwa harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, bukan tujuan namun sarana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Q.S Al-Hadid : 7, Hud : 61) .
Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara sesama.
Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah Swt.
Dapat kita simpulkan Perilaku konsumen dalam ekonomi islam diantaranya harus meliputi :
1.               Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
2.               Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31).Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3.               Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.
4.               Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam   mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi  baik dalm keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok di tempat umum.[9]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.
Dalam ekonomi islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai berikut :
1.            Prinsip keadilan.
2.            Prinsip Kebersihan.
3.            Prinsip Kesederhanaan.
4.            Prinsip kemurahan hati.
5.            Prinsip moralitas.
Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara sesama.
Dapat kita simpulkan Perilaku konsumen dalam ekonomi islam diantaranya harus meliputi :
1.             Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, Prinsip ilmu, Prinsip amaliah.
2.             Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta,
3.             Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, Sekunder, dan Tersier,
4.             Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat,





DAFTAR PUSTAKA

Asmuni Solihan ,Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, Jakarta, Khalifa, 2010.
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005.
Nur Rianto, Dasar-dasar Ekonomi Islam,  Solo, PT. Era Adicitra Intermedia, 2011.
Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010.
Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Muhammad, Drs.. Ekonomi Mikro (Dalam Persfektif Islam). Yogyakarta : BPFE. 2005
Depag, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, Surabaya, CV. Penerbit Fajar Mulya,1998
Dr H abdul ghofur, M, Ag.Pengantar ekonomi syariah





[1] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (Yogyakarta: BPFE, 2005), 162
[2] Depag, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Surabaya: CV. Penerbit Fajar Mulya,1998), 503
[3] Dr H abdul ghofur, M, Ag.Pengantar ekonomi syariah
[4]  Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005, hlm 92
[5] Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hlm. 44.
[6] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005, hlm 93-94
[7] Nur Rianto, Dasar-dasar Ekonomi Islam,  Solo, PT. Era Adicitra Intermedia, 2011, hlm 140
[8] Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm 61
[9] Asmuni Solihan ,Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, Jakarta, Khalifa, 2010, hlm 182-185
Diposkan 26th April 2014 oleh surya asyraf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar