BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial yang mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang manusia tidak akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang namanya kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat berbagai hal yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan memiliki sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar perseorangan atau antar sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan Umum Perikatan, Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan Melawan Hukum, Perwakilan Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya Perikatan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan materi kami, diantaranya :
1. Apa pengertian perikatan ?
2. Bgaimana pengaturan hukum peritkatan?
3. Apa saja jenis-jenis dari perikatan itu ?
3. Bagaimana cara menghapuskan perikatan ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan.
2. Untuk mengetahui pengaturan hukum perikatan.
2. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa :
a. Perbuatan, misalnya jual beli, utang-piutang, hibah.
b. Kejadian, misalnya kelahiran, kematian,
c. Keadaan, misalnya rumah susun
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Dalam hubungan tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Dalam hubungan utang-piutang, pihak berutang disebut debitor, sedangkan pihak yang memberi utang disebut kreditor. Dalam hubungan jual-beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penjual sebagai kreditor. Dalam perjanjian hibah, pihak pemberi hibah berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penerima hibah sebagai kreditor.[1]
B. Pengaturan Hukum Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
a. Tidak dilarang Undang-Undang
b. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).[2]
C. Jenis-Jenis Perikatan
1. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt). Perikatan bersyarat di bagi tiga yaitu :
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat peristiwa itu terjadi, maka perikatan di laksanakan (Pasal 1263 KUHP dt). Misalnya Oki setuju apabila Ramdan adiknya mendiami pavilium rumahnya setelah menikah. Nah, nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika ramdan menikah, maka Oki wajib menyerahkan pavilium rumahnya untuk didiami oleh Ramdan.
b. Perikatan dengan syarat batal
Disini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHP dt). Misalnya, Arlita setuju apabila Regi kakaknya mendiami rumah Arlita selama dia tugas di Perancis dengan syarat bahwa Regi harus mengosongkan rumah tersebut apabila Arlita selesai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat “ selesai dan kembali ke tanah air ” masih akan terjadi dan belom pasti terjadi. Akan tetapi, jika syarat tersebut terjadim perikatan akan berakhir dalam arti batal.
c. Perikatan dengan ketetapan waktu
Syarat ketetapan waktu adalah pelaksaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang di tetapkan. Misalnya Anis berjanji kepada Yesi bahwa ia akan membayar utangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning pada tanggal 1 agustus 2014. Dalam hal ini hasil panen yang sedang menguning sudah pasti karena dalam waktu dekat, Anis akan panen sawah sehingga pembayaran utang pada tanggal 1 agustus 2014 sudah dipastikan.[3]
2. Perikatan Manasuka ( Boleh Pilih)
Pada perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan mansuka karena, debitor boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitor tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima sebagian benda yang satu dan benda sebagian benda yang lainnya. Jika debitor telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor (Pasal 1272 dan 1273 KUHP dt).
Misalnya, Rima memesan barang elektronik berupa radio tape recorder ataustereo tape recorder di sebuah toko barang elektronik dengan harga yang sama, yakni Rp 2.500.000,00. Dalam hal ini, pedagang tersebut dapat memilih yaitu menyerahkan radio tape recorder atau stereo tape recorder. Akan tetapi, jika diperjanjikan bahwa Rima (Pemesan) yang menentukan pilihan, pedagang memberitahukan kepada Rima bahwa barang pesanan sudah tiba, silahkan memilih salah satu dari benda objek perikatan tersebut. Jika Rima telah memilih dan menerima satu dari dua benda itu, peerikatan berakhir.
3. Perikatan Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu perikatan dimana debitor wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi itu, dia dapat mengganti prestasi lain. Misalnya, Agung berjanji kepada Rian untuk meminjamkan mobilnya guna melaksanakan penelitian. Jika Agung tidak meminjamkan Karena rusak, dia dapat mengganti dengan sejumlah uang transport untuk melaksanakan penelitiannya.
4. Perikatan Tanggung-Menanggung
Pada perikatan tanggung-menanggung dapat terjadi seorang debitor berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang debitor. Apabila kredior terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini, setiap kreditor, berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang. Jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitor dibebaskan dari utangnya dan perikatan hapus (Pasal 1278 KUHP dt).
Jika pihak debitor terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung pasif, setiap debitor wajib memenuhi prestasi seluruh utang dan dan jika sudah dipenuhi oleh seorang debitor saja, membebaskan debitor –debitor lain dari tuntutan kreditor dan perikatannya hapus (Pasal 1280 KUHP dt)
Berdasarkan observasi, perikatan yang banyak terjadi dalam praktiknya adalah perikatan tanggung-menanggung pasif yaitu :
a. Wasiat
Apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan hibah wasiat kepada ahli warisnya secara tanggung-menanggung.
b. Ketentuan Undang-Undang
Dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung menanggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur dengan perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut ;
a. Persekutuan firma (Pasal 18 KUHD)
Setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya atas semua perikatan.
b. Peminjaman benda (Pasal 1749 KUHPdt)
Jika bebereapa orang bersama-sama menerima benda karena peminjaman, meka masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman benda itu.
c. Pemberian kuasa (Pasal 1181 KUHPdt)
Seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama. Mereka bertanggung jawab untuk seleruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kekuasaan.
d. Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836 KUHPdt)
Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penjamin sebagai seorang debitor yang sama untuk utang yang sama, mereka itu untuik masing-masing terikat untuk seluruh utang.[4]
5. Perikatan Dapat Dibagi Dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi bisa terjadi jika salah satu pihak meninggal dunia sehingga akan timbul maslah apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris almahrum itu. Hal tersebut bergantung pada benda yang menjadi objek perikatan yang penyerahannya atau pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan ( Pasal 1296 KUHPdt).
Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah bahwa perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditor berhak menuntut seluruh prestasi kepada setiap debitor dan setiap debitor wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan dipenuhinya prestasi oleh seorang debitor , membebaskan debitor lainnya dan perikatan menjadi hapus. Pada perikatan yang dapat dibagi, setiap kreditor hanya dapat menuntut suatu bagian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitor hanya wajib memenuhi prestasi untuk bagiananya saja menurut perimbangan.
6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitor apabila dia lalai memenihi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk menetapkan jumlah ganti keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan pendorong debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditor dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah di deritanya.
Misalnya, dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang pemborong harus menyelesaikan pekerjaan bangunan dalam waktu tiga puluh hari tidak menyelesaikan pekerjaannya, dia dikenakan denda satu juta rupiah setiap hari terkampat itu. Dalam hal ini, jika pemborong itu melalaikan kewajibannya, berarti dia wajib membayar denda satu juta rupiah sebagai ganti kerugian untuk setiap hari terlambat.
7. Perikatan Wajar
Undang-undang tidak menentukan apa yang dimaksud dengan perikatan wajar (natuurlijke verbintenis, natural obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai Pasal 1359 ayat (2) KUHPdt. Karena itu, tidak ada kesepakatan antara para penulis hukum mengenai sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali mengenai satu hal, yaitu sifat tidak ada gugatan hukum guna memaksa pemenuhannya. Kata wajar adalah terjemaahan dari kata aslinya dalam bahasa Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi Poedjosewojo dalam kuliah hukum perdata pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar bersumber dari Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan (Moral and equity). Bersumber pada Undang-Undang, artinya keberadaan perikatan wajar karena ditentukasn oleh Undang-Undang. Jika Undang-Undang tidak menentukan, tidak ada perikatan wajar. Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan, artinya keberadaan perikatan wajar karena adanya belas kasihan, rasa kemanusiaan, dan kerelaaan hati yang iklas dari pihak debitor. Hal ini sesuai benar dengan sila kedua pancasila dan dasar Negara Republik Indonesia.
Ada contoh-contoh yang berasal dari ketentuan undang-undang adalah seperti berikut ini :
a. Pinjaman yang tidak diminta bunganya
Jika bunganya dibayar, tidak dapat dituntut pengembaliannya (Pasal 1766 KUHPdt)
b. Perjudian dan pertaruhan
Undang-Undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu utang yang terjadi karena perjudian karena perjudian pertaruhan ( Pasal 1788 KUHPdt).
c. Lampau waktu
Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus karena kadaluarsa (lampau waktu) dengan lewatnya tenggang waktu tiga puluh hari tahun.
d. Kepailitan yang di atur dalam undang-undang kepailitan.[5]
D. Hapusnya Perikatan
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini :
1. Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda.
2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries, kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ). Supaya penawaran pembayaran itu sah perlu dipenuhi syarat-syarat :
a. Dilakukan kepada kreditor atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitor yang wenang membayar;
c. Mengenai semua uang pokok, bunga, dan biaya yang telah ditetapkan;
d. Waktu yang ditetapkan telah tiba;
e. Syarat dimana utang dibuat telah terpenuhi;
f. Penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui; dan
g. Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaries atau juru sita disertai oleh dua orang saksi.
3. Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah penggantian objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.
4. Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor dan kreditor secara timbale balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama lenyap. Supaya utang itu dapat diperjumpakan perlu dipenuhi syarat-syarat :
a. Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama;
b. Utang itu harus sudah dapat ditagih; dan
c. Utang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnnya (pasal 1427 KUH Perdata)
Setiap utang apapun sebabbnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini :
a. Apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari pemiliknya, misalnya karena pencurian;
b. Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c. Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan napkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita (Pasal 1429 KUH Perdata) ;
d. Utang-utang Negara berupa pajak tidak mungkin dilakukan perjumpaan utang (yurisprudensi); dan
e. Utang utang yang timbul dari perikatan wajar tidak mungkin dilakukan perjumpaan hutang (yurisprudensi).
5. Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum. Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6. Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
Menurut ketentuan pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan suatu hutang tidak boleh didasarkan pada persangkaan, tetapi harus di buktikan. Pasal 1439 KUH Perdata menyatakan bahwa pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditor kepada debitor merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
7. Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia juga akan bebas dari perikatan itu apabila dapat membuktikan bahwa musnah atau hilangnya benda itu disebabkan oleh suatu keadaan di luar kekuasaannya dan benda itu juga akan mengalami peristiwa yang sama measkipun sudah berada di tangn kreditor.
8. Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak wenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable). Perikatan yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan negeri melalui dua cara, yaitu :
a. Dengan cara aktif
Yaitu menuntut pembatalan melalui pengadilan negeri dengan cara mengajukan gugatan.
b. Dengan cara pembelaan
Yaitu menunggu sampai digugat di muka pengadilan negeri untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan tentang kekurangan perikatan itu.
Untuk pembatalan secara aktif, Undang-undang memberikan pembatasan waktu, yaitu lima tahun (pasal 1445 KUH Perdata), sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu.
9. Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui oleh kedua pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal(nietig, void) sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaki surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.
10. Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Atas dasar ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau waktu yaitu :
a. Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu benda disebut acquisitieve verjaring.
b. Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan disebut extinctieve verjaring.
Menurut ketentuan pasal 1963 KUH Perdata, untuk memperoleh hak milik atas suatu benda berdasar pada daluarsa (lampau waktu) harus dipenuhi unsur-unsur adanya iktkad baik; ada alas hak yang sah; menguasai benda it uterus-menerus selama dua puluh tahu tanpa ada yang mengggugat, jika tanpa alas hak, menguasai benda itu secara terus-menerus selama 30 tahun tanpa ada yang mengugat.
Pasal 1967 KUH perdata menentukan bahwa segala tuntutan, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluarsa, dengan lewat waktu 30 tahun. Sedangkan orang yang menunujukkan adanya daluarsa itu tidak usah menunjukkan alas hak dan tidak dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang berdasar pada iktikad buruk.
Benda bergerak yang bukan bunga atau piuatang yang bukan atas tunjuk (niet aan toonder), siapa yang menguaisainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun demikian, jika ada orang yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam jangka waktu 3 tahun terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu, dia dapat menuntut kembali bendanya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya dari tangan siapapun yang menuasainya. Pemegang benda terakhir dapat menuntut pada orang terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti kerugian (pasal 1977 KUH Perdata).[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor.
2. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt).
3. Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran tunai diikuti penitipan, pembayaran utang, perjumpaan utang, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang, karena pembatalan, berlaku syarat batal dan lampau batas.
DAFTAR PUSTAKA
Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma
[1] Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
[2] Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
[3] Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
[4] Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
[5] Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
[6] Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar